Sabtu, 01 November 2008

Illative Sense: Sebuah Pengantar

Berbagai fenomena yang akhir-akhir ini muncul pada abad ini seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme, pragmatisme, “budaya instan” dan lain-lain, sebagian besar sangat dipengaruhi oleh maraknya perkembangan pasar (kapitalisme) dan globalisasi. Kedua faktor tersebut - di samping berbagai unsur penyebab yang lain - bersumber dan berpusat pada kekuatan manusia yang ingin meraih segala hal. Ada keinginan untuk berkuasa. Dan persoalan ini sebenarnya sudah dimulai dan terjadi khususnya dalam modernitas. Dalam dunia modern, manusia mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan rasionalitas sebagai pintu dalam memahami dan menaklukkan realitas. Itu sebabnya, dalam kerangka berpikir modern, agama dan hal-hal spiritual sulit untuk mendapat tempat. Dunia modern lebih menganggap penting pada hal-hal yang dapat diukur, didemonstrasikan, direkayasa dan dibuktikan. Akibatnya, realitas yang dipahami hanyalah sebatas material, fisik dan natural saja. Di luar itu, manusia dalam kerangka berpikir modern cenderung mengabaikan atau bahkan menentangnya.[1]

Munculnya gerakan fundamentalisme sebagai counter atas sekularisme dan liberalisme yang menjalar akhir-akhir ini patut ditelaah lebih dalam lagi.[2] Ada kerinduan akan nilai-nilai religius yang sudah lama tidak dihiraukan manusia. Ada kesadaran baru akan pentingnya nilai-nilai spiritualitas sebagai pegangan dan pedoman hidup manusia. Ada harapan akan agama yang dipandang sebagai jalan pembebasan dalam hidup manusia. Dengan kata lain, banyak orang mulai jenuh dan bosan dengan tawaran modern yang kerap kali merasionalisasi segala kebutuhan manusia. Padahal, manusia terutama sangat dahaga akan nilai-nilai spiritual dan ilahi yang mampu membangkitkan semangat hidupnya sendiri. Manusia tidak melulu terlibat pada mentalitas angka dan presisi akal dan rasio saja melainkan juga meliputi wilayah rasa, keindahan, seni, cinta dan lain-lain. Dan kesadaran akan perubahan paradigma ini mulai menggejala di awal-awal abad ini. Setelah pudarnya dunia modern –sering disebut dengan kebangkitan dunia postmodern- manusia beralih dan memusatkan diri pada kesadaran internal dirinya. Manusia mengarahkan diri pada nilai-nilai religius yang kini menjadi daya yang sangat penting dalam perkembangan hidup manusia.

Apakah orang sungguh-sungguh membutuhkan Allah atau agama agar hidup lebih baik? Atau Allah hanya semata-mata sekedar diandaikan ada dan diperlukan karena demi tujuan manusia belaka? Apakah kita bisa mendefiniskan Allah? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin kita bisa membicarakannya. Barangkali, kita hanya berbicara pada level “gagasan” tentang Allah sedemikian sehingga Allah sungguh berperan dan bermakna dalam hidup kita. Orang sekarang ini masih mempertanyakan atau masih memperkarakan siapa Allah itu. Berbagai pandangan dari banyak pemikir telah melahirkan sekumpulan gagasan dan tawaran dalam pendekatan pada siapa atau apa Allah itu. Dan ternyata, dunia modern pun telah menunjukkan gejala yang sama yakni hilangnya kepercayaan pada Allah. Dunia modern atau modern worldview telah mulai membaharui paradigma berpikir dari deduktif menjadi induktif. Modernisme ditandai dengan adanya komitmen yang tegas pada kebebasan. Ada upaya untuk melepaskan diri dari kekuatan otoritas tertentu dan menggantinya dengan pengalaman dan akal. Modernisme melihat dunia secara mekanis yakni berdasar pada pandangan pengalaman secara particular akan dunia.

Di samping itu, merosotnya kepercayaan pada Allah disebabkan oleh adanya persoalan kejahatan. Ada kontradiksi antara esensi Allah yang maha baik dan maha kuasa dengan pengalaman atau fakta adanya kejahatan, penderitaan, peperangan, pembunuhan dan lain-lain. Allah yang disebut omnipotent seharusnya bisa melenyapkan segala kejahatan dan derita yang justru makin sering terjadi. Modernisme juga mempertanyakan kebenaran Allah atau Kitab Suci yang pada kenyataannya dipakai untuk melegitimasi kekuasaan, penindasan dan tindakan kejahatan lainnya. Dengan kebangkitan sains, kebenaran supernatural mulai diragukan dan dipertanyakan. Modernisme mulai meninggalkan adanya pengalaman akan Allah yang dianggap tidak mungkin dijelaskan secara pasti.

Menghadapi gejala-gejala dan gelagat yang terjadi tersebut, postmodernisme lewat paradigma dan worldviewnya sendiri merombak dan mendekonstrusksi modernisme. Akan tetapi, banyak orang lupa bahwa postmodernisme tidak memberikan solusi atas kritikan terhadap modernitas. Postmodernisme hanya sebatas menghancurkan pola pikir modern yang sok pasti dan postif/empiris. Namun, John Henry Newman justru memberikan sebuah tawaran yang bisa memecahkan persoalan modernitas. Lewat illative sense, Newman sebetulnya telah menjawab kelemahan modernisme yang telah diungkapkan oleh postmodernisme. Dengan kata lain, sebetulnya Newman dapat dikatakan sebagai seorang postmodern yang konstruktif. Ia telah mengantisipasi jawaban atas persoalan yang akan muncul kemudian.

Oleh karena itu, illative sense menjadi tawaran konkret yang masuk akal dan realistis. Illative sense dari John Henry Newman sebetulnya adalah daya intrinsik yang sudah ditawarkan bahkan sejak modernitas mulai berkembang. Dalam dunia modern, gaung illative sense memang belum terasa karena banyak orang lebih percaya pada empirisme, rasionalisme bahkan materialisme yang lebih berkembang dan berpengaruh. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang mendesak dewasa ini illative sense itu bagai “obat penawar yang diminum untuk menyembuhkan berbagai penyakit”. Krisis identitas diri, kelompok bahkan iman sendiri menjadi trend atau gelagat postmodernisme yang tak tebendung lagi. Illative sense itu semacam “ramuan obat kuno untuk penyakit zaman sekarang”.

Apakah sungguh illative sense sebagai jawaban akan fenomena yang muncul belakangan ini? Pertanyaan ini menjadi sebuah gagasan reflektif sekaligus tantangan. Gagasan reflektif karena pertanyaan tersebut menggugat kemampuan illative sense dalam menjawab perkembangan zaman: apakah illative sense mampu memberi solusi tidak hanya pada persoalan-persoalan yang timbul dalam modernitas tetapi terutama dalam menghadapi gelagat postmodernisme sekarang ini. Menjadi sebuah tantangan sebab relevansi illative sense sungguh dipertaruhkan. Apakah illative sense mempunyai dampak yang sungguh berarti dalam dunia postmodern? Berdasarkan kerinduan manusia akan bentuk spiritual dan religius serta kebutuhan akan Gereja khususnya Katolik, illative sense sebagai jawaban atas berbagai persoalan dan gelagat postmodernisme tampaknya menjadi tawaran yang optimis. Gereja Katolik secara khusus melalui Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik menganjurkan untuk kembali membaca karya para pemikir dan teolog yang dianggap dapat membela iman Katolik. Hilangnya identitas kekatolikan bahkan sejak zaman modern memicu para pemimpin Gereja agar menganjurkan umat untuk melihat dan merefleksikan kembali orang-orang yang dapat menjadi fundasi iman kekatolikan. Salah satu filsuf dan teolog yang dianjurkan tersebut adalah John Henry Newman.[3]

Posisi Gereja sendiri dalam menghadapi situasi zaman khususnya modernisme berada dalam dua sisi atau dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, Gereja mengadakan gerakan modernisme Katolik dalam menentang Protestantisme. Lewat pengetahuan rasional dan logis, Gereja Katolik memperbaiki pandangan yang hanya mengadalkan iman semata. Di sisi lain, Paus Pius X, menulis ensiklik Pascendi Dominici Gregis (1907) untuk melawan modernisme itu sendiri. Dalam ensiklik tersebut, Gereja membeberkan berbagai kelemahan dan kecenderungan modernisme yang dianggap bisa mempengaruhi Gereja ke arah yang kurang baik.

John Henry Newman hidup di awal abad ke-19. Pada masa itu, berbagai aliran filsafat muncul sebagai sinyal kebangkitan dunia modern. Kiblat pada rasionalisme, empirisme dan materialisme sangat kentara dan berpengaruh dalam peradaban manusia. Sejarah Gereja mencatat bahwa sekitar tahun-tahun tersebut, gerakan Reformasi muncul sebagai tanda pembaharuan terhadap Gereja Katolik. Akibatnya, Gereja sendiri mengadakan perubahan secara mendasar baik sebagai counter atas Reformasi Prostestan maupun konstruksi dan perbaikan internal di dalam Gereja Katolik sendiri. Berbagai pemikiran dan karya besar teolog dan ahli Gereja bermunculan. Semuanya ingin memperbaiki dan bahkan mempertahankan iman kekatolikannya dengan caranya masing-masing. Salah satunya adalah John Henry Newman.

Newman dan berbagai pemikir lainnya berupaya mengembalikan nilai-nilai katolisitas di tengah banyaknya goncangan dan kritikan terhadap Gereja. Melalui proses dan caranya sendiri, pada akhirnya karya-karya Newman dijadikan oleh Gereja sebagai fundasi iman bagi umat Katolik bahkan sampai saat ini. Akan tetapi tidak seluruh gagasan dan karya Newman yang akan dijelaskan dan diuraikan dalam tulisan ini. Lewat berbagai bukunya, penulis ingin mengangkat kembali illative sense dari Newman yang tidak hanya tepat sebagai jawaban atas persoalan modern tetapi juga telah mengantisipasi gerakan dan kerumitan yang terjadi saat sekarang ini. Dengan kata lain, illative sense menjadi tawaran untuk mentransformasi dan mengurai gelagat postmodernisme dewasa ini. Dunia postmodern yang juga bisa disebut dengan istilah neo-modern, telah menggugat dan mengkritik kepastian dan rasionalitas yang diagung-agungkan oleh modernisme. Empirisme dan dunia fakta yang sok pasti mulai diragukan kebenarannya.

Pada prinsipnya, tulisan ini bertujuan untuk memberikan landasan yang kuat berkaitan dengan bagaimana dan mengapa illative sense ditawarkan secara komprehensip. Secara epistemologi, tulisan ini ingin membuat ketegasan dalam melakukan justifikasi. Dalam konteks saat ini, kita mengetahui bahwa betapa tipisnya batas antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang jahat, antara yang berdosa dan yang tidak berdosa. Implikasinya, banyak orang mulai mempertanyakan bahkan meragukan apakah Allah sunguh-sungguh ada atau tidak. Keraguan yang menggerogoti manusia tersebutlah, yang menjadi tantangan sekaligus harapan akan adanya illative sense. Dengan kata lain, tulisan mengenai illative sense ini menjadi patokan, pegangan dan pijakan dalam menegaskan dan mengarahkan keraguan yang tersimpan dalam lubuk hati manusia. Maka, tulisan tentang illative sense ini terutama memberikan dasar epistemologis akan kebenaran. Oleh karena itu, illative sense dapat membantu seseorang dalam membuat keputusan yang tepat sekaligus bijaksana atas berbagai pertimbangan yang ada.

Di samping itu, tulisan ini bertujuan untuk mengubah paradigma berpikir. Berbicara tentang illative sense berarti tidak sekadar membahas persoalan fisik/materi atau hal luaran belaka (eksternal) melainkan lebih menekankan persoalan batin (internal). Jadi tulisan ini menawarkan sebuah nilai dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Ada nilai yang mau digapai lewat dialog nurani dalam diri manusia. Dalam bertindak, setiap orang diajak untuk mendengarkan suara hati atau hati nuraninya masing-masing. Dan tulisan ini mau menjelaskan dan memberikan penegasan atas hal tersebut.

Tulisan ini juga bertujuan untuk memberi rekomendasi dan pencerahan bagi umat Katolik secara khusus, untuk mengungkapkan dan memperteguh imannya dengan melatih illative sense yang dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu, dengan adanya illative sense, setiap orang dilatih untuk bersikap kritis dalam mengekspresikan serta mempertanggungjawabkan identitas imannya. Secara natural, ternyata setiap manusia menurut Newman - dan tulisan ini mau mengangkat signifikansinya - memiliki kapasitas illative sense yang berbeda. Oleh karena setiap orang memiliki illative sense yang berbeda, maka illative sense itu perlu dilatih supaya terinternalisasi dengan baik untuk memantapkan identitas imannya sendiri. Dengan kata lain, illative sense yang kokoh mampu memberikan kepercayaan diri yang kuat dalam mempertahankan iman yang diakui masing-masing orang. Di samping itu, tulisan ini juga memberikan tawaran atau anjuran pada umat serta para pewarta iman baik dalam isi maupun metodologi tertentu yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan illative sense dalam setiap diri manusia.

John Henry Newman memakai sebuah metodologi yang istimewa dan menciptakan sebuah ungkapan epistemologis yakni “illative sense” untuk memecahkan persoalan filosofis yakni perbedaan antara kemungkinan dan kepastian. Newman menyatakan bahwa dengan menghormati iman religius, orang yang sederhana dan orang buta bahkan lebih beruntung daripada orang yang lebih intelektual bila orang yang terakhir disebut ini tidak mempergunakan pertimbangan atau pemikiran eksplisitnya dengan disposisi moral yang benar dan dengan realisasi bahwa iman melibatkan keseluruhan individual dan tidak pernah hanya sebuah persoalan logika semata. Kemampuan pikiran –menggunakan ingatan-ingatan, kemungkinan-kemungkinan, asosiasi-asosiasi, bukti-bukti, kesan-kesan, agar berpikir dan menyimpulkan dan percaya secara spontan dengan berhasil tetapi tanpa bantuan analisis yang jelas– adalah apa yang disebut Newman sebagai illative sense. Dia mencatat bahwa ada dua bahaya dalam melatih “sense” ini yaitu tahayul dan sikap eksentrik atau aneh atau sinting. Akan tetapi, tahayul bisa dikendalikan dengan elemen-elemen moral dalam tindakan iman seperti kesucian, ketaatan dan kesadaran akan tanggung jawab. Dalam argumentasinya, ada dua gagasan yang muncul. Yang pertama, akal budi secara individu mengatasi logika. Yang kedua, akal budi secara komunal seperti dalam Gereja atau negara mengatasi individu. Keduanya saling mengkoreksi dan saling melengkapi satu sama lain. Newman menyadari bahwa bukti-bukti iman itu beragam, bahwa misteri relasi kristiani berasal dari Inkarnasi dan memuncak dalam kematian dan kebangkitan Sabda menjadi daging, yang telah terjadi dalam sejarah. Konsekuensinya, dengan mengasumsikan illative sense sebagai sebuah cara mengada maka setiap orang membutuhkan atau menggunakan pelatihan dalam menjawab berbagai pertanyaan yang muncul. Newman menawarkan sebuah metode baru di mana ia percaya bahwa teologi sungguh dibutuhkan.

Illative sense adalah daya untuk menilai atau menentukan benar atau salah dalam persoalan-persoalan konkret yang secara natural berbenturan dalam setiap diskusi perkembangan doktrin. Newman mengatakan bahwa illative sense dipakai dalam 4 konteks yakni sebuah latihan mental sebagaimana ditemukan sesungguhnya dalam fakta, menyangkut proses penggunaannya, menyangkut fungsi dan ruang lingkupnya. Yang pertama, sebagai sebuah latihan dari pikiran/akal budi yang satu dan sama dalam semua persoalan konkret meskipun menggunakannya dalam ukuran-ukuran yang berbeda. Yang kedua, latihan mental dalam sebuah fakta yang berkaitan dengan hal-hal yang terbatas, sehingga suatu individu yang diberi boleh memilikinya dalam satu departemen/wilayah pemikiran, sebagai contoh, sejarah dan bukan di dalam bagian atau wilayah yang lain, sebagai contoh, filsafat. Yang ketiga, latihan mental berproses untuk mengahsilkan sebuah kesimpulan, selalu dalam cara yang sama, dengan sebuah metode pemikiran/penalaran yang dapat dianalogikan sebagai sistem kalkulasi matematika dari modem waktu yang begitu mengagumkan dengan memperluas batas-batas dari ilmu pengetahuan abstrak. Yang keempat, tidak ada kelas dari penalaran-penalaran konkret, apakah di dalam ilmu pengetahuan yang eksperimental, riset historis, atau teologi, ada beberapa test dari kebenaran dan kesalahan di dalam kesimpulan-kesimpulan kita di samping kemurnian atau kredibilitas dari illative sense yang telah memberi mereka sanksinya.

[1] Bandingkan Ignatius Bambang Sugiharto (pengantar) dalam David Ray Griffin (ed.), God and Religion in The Postmodern World (diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern), hlm. 11, 16-28.
[2] Ada dua gerakan teologi yang diabaikan dalam dunia modern yaitu Konservatif-Fundamentalis yang dianggap tidak ilmiah dan Liberal Modern yang dianggap hampa dan tidak signifikan. Ibid., hlm. 16.
[3] Gereja menganjurkan umat Katolik untuk membaca karya-karya dan pemikiran Newman karena memberi inspirasi yang mendalam berkaitan dengan identitas kekatolikan, apalagi setelah Newman diangkat menjadi seorang Kardinal oleh paus Leo XIII. Lihat Symposium 9-12 October 1979, John Henry Newman: The Significance His Promotion to The Cardinalate, hlm. 251-252. Lihat juga John T. Ford (editor in chief), Newman Studies Journal Volume 1 Number 1, hlm. 35.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

ketika illative sense terkubur di bawah sadar, maka yang tersisa hanyalah relative sense.

Anonim mengatakan...

illative sense itu rasio ato intusisi sich..........

Anonim mengatakan...

wah Romo,kebetulan sekali..ak lg nyari artikel tentang Newman:bersejerah ke masa depan..dalam kaitan dengan sejarah doktrin gereja...salamku,yulius,sscc